Saat itu
aku yang sedang termenung menatap buku-buku membosankan memalingkan wajah
menghadap ke arah samping ruangan yang pengap. Sedikit kelegaan karena bukan
aku satu-satunya manusia yang mencintai tempat kumuh ini; setidaknya ada satu orang
aneh yang cukup sinting sama denganku merasa betah disini, kurasa. Ya,
tempat ini jauh dari kata layak untuk sesuatu yang berbau 'indah'. Meskipun
begitu tempat ini cocok bagi mereka yang menyukai 'sepi'.
Kembali
lagi pada dia, dia yang ada di pojok ruangan ini, berada di antara dua rak buku
tinggi berwarna coklat kusam. Membolak-balikkan kertas demi kertas halaman buku
yang sangat tebal, entah apa yang dia cari. Sekitar 15 menit aku
memperhatikannya, hingga akhirnya aku tersadar dia sedang memperhatikanku juga.
Kualihkan pandanganku segera mencari objek lain untuk bisa menjadi tempat
'pelarian mataku' , karena tiba-tiba aku merasa sangat tolol karena ketahuan
telah memperhatikannya.
Suhu
ruangan ini tiba-tiba menjadi sangat dingin, perasaanku-kah? Aku mencoba fokus
pada buku yang ada di depanku, berharap aku bisa mendapatkan hal baru untuk
kujadikan tambahan kata dalam tugas gilaku nanti. Namun, semua itu buyar ketika
dengan tak terduga terdengar suara keras semacam tendangan di arah pintu. Aku
yang kaget spontan berdiri dan menatap ke arah dia, satu-satunya orang,
manusia, atau apalah itu sebutannya, yang bersama denganku sekarang. Dia
memberikan isyarat dengan jari telunjuk yang diletakkan di bibirnya, kemudian
dengan tangannya membuatku mengerti bahwa aku harus mundur bersembunyi di balik
rak buku di belakangku. Aku mengambil langkah cepat ke arah rak buku itu,
berjongkok dan menutup mata, berharap semuanya baik adanya.
"Kamu
sedang apa?" tanya suara seorang lelaki. Suaranya terdengar berat. Seorang
lelaki dewasa-kah?
"Membaca."
jawab suara seorang laki-laki, kali ini suaranya terdengar lebih rendah, suara
jernih. Aku yang masih ketakutan karena kaget dengan suasana tadi, mencoba
untuk tetap diam dan tak bergerak di balik rak buku ini.
“Jangan
macam-macam, atau aku akan menjebloskanmu ke penjara!” suara berat tadi
terdengar lagi.
Apa maksudnya ini? Penjara? Siapa dia?
“Anda
sudah makan?” tanya orang itu. Biar kutebak, suara yang rendah itu adalah dia,
dia laki-laki berkacamata itu.
“Untuk
apa kamu menanyakannya? Mau memberi aku makan? Makanan yang diisi dengan racun?
Dengarkan aku! Aku megeluarkanmu dari penjara dengan tujuan agar kamu membalas
budi baikku kepada ibumu, dengan membantuku menjaga tempat ini. Dengan
mengurusku. Dengan mengikuti semua kata-kataku. Jangan berbuat sesuatu yang
mencurigakan, dan jangan berusaha untuk melarikan diri dariku. Terakhir kali
aku katakan, jika kamu berbuat macam-macam, aku tak segan-segan tuk mengirimmu
kembali ke penjara, ke tempat yang pantas untukmu jika tak ada aku!”
“Ya.”
Yang
kudengar sekarang ada suara langkah kaki menjauh dari arahku, menuju ke pintu,
dan ... braaaakk! Suara pintu yang ditutup baru saja dengan keras. Aku yang
masih gemetar, semakin tak mengerti dengan semua yang ku dengar. Balas jasa?
Penjara?
Sekitar
5 menit aku berjongkok hingga aku merasa kakiku mulai kesemutan. Aku mencoba
bangun berdiri perlahan, menyeimbangkan badanku. Kutarik nafasku dalam-dalam
dan berusaha menganggap semuanya normal, sampai aku menyadari bahwa laki-laki
muda itu sudah berdiri di depanku sekarang.
“Takut?”
katanya.
Aku yang
kaget menatapnya, bingung mau menjawab apa.
“Butuh
air? Minumlah.” katanya lagi. Dia menyodorkan sebuah botol air mineral, masih
terisi penuh. Aku yang masih bingung dengan semua yang terjadi begitu cepat
hanya mampu menatapnya diam.
“Minumlah,
tak ada racun di dalamnya.” katanya sekali lagi. Aku yang tersadar dengan
kata-katanya barusan sedikit malu, dia berpikir aku takut dia akan meracuniku.
“Ya,
terimakasih. Tidak, bukan maksudku begitu.” jawabku sambil mengambil air
tersebut dari tangannya. Aku meminumnya dengan cepat, sangat cepat, mungkin tak
sampai semenit. Kuturunkan botolku, dan .. dimana dia?
Aku
keluar dari tempatku bersembunyi dan mendapatinya duduk tepat di depan kursiku.
“Maaf
tlah membuatmu takut.”
“Oh, ya,
tak apa. Tapi..”
“Dia
pamanku, kakak dari Ibuku. Ibuku tlah meninggal. Keracunan.” katanya singkat.
“Tempat
ini...”
“Ya.
Perpustakaan kumuh ini miliknya. Beliau guru, dulunya. Sejak ibuku sakit, dia
memutuskan tuk menjaga ibuku. Dan, dia membuka tempat kecil ini agar
buku-bukunya tak terbuang percuma.”
“Aku tak
mengerti.”
“Ibuku
meninggal karena makan makanan yang kuberikan. Di dalamnya terdapat racun yang
aku sendiri tak tau dari mana datangnya. Yang aku tau aku dimasukkan ke penjara
karena diduga membunuh ibuku. Belum setahun aku masuk aku dibebaskan oleh
pamanku.”
“Mengapa
ia membebaskanmu?”
“Entahlah,
yang pasti ia begitu mencintai adiknya, ibuku. Dan akhirnya, aku disini, setiap
hari mengurusi tempat ini.”
“Tapi
aku tak pernah melihatmu sejak 2 minggu ini, ya..aku memang baru ke sini 2
minggu belakangan ini.”
“Dua
minggu itu aku ke kampung, mengurus satu-satunya harta ibu yang tersisa tanpa
sepengetahuan paman: pertanian ayah. Dan aku tak memberitahunya.”
“Pergi
tanpa ijin?”
“Ya.
Bagaimana mungkin aku meminta ijin sementara aku tahu aku tak mungkin
diijinkan? Tapi toh dia tahu aku disini sekarang, dan dia tahu bahwa aku tak
mungkin lari darinya.”
Ruangan
menjadi sangat sunyi. Mungkinkah karena suasana pembicaraan kami yang sedikit
pribadi? Entahlah, yang pasti suhu tempat ini tak sedingin tadi.
“Maaf
tlah membuatmu takut tadi. Kuharap semua yang terjadi tadi tidak mengurungkan
niatmu untuk datang ke sini lagi besok.” katanya sambil tersenyum.
“Ya,
tidak apa-apa. Aku memang sedikit kaget, tapi sudahlah. Dan bolehkan aku
bertanya padamu?” jawabku sembari bertanya kepadanya.
“Silahkan.”
“Sesulit
itukah hidupmu? Dituduh meracuni ibumu, dimasukkan ke penjara, dibebaskan namun
hidup dengan pamanmu yang seperti ini, apakah tak menderita? Tak ada niatkah
dalam dirimu untuk kabur? Pergi mencari hidup yang lebih baik dan bahagia?
Hidup yang lebih bertanggungjawb? Maaf, saya hanya...” aku terdiam. Aku tak
sanggup melanjutkan kata-kataku, entah karena kasihan padanya dan marah pada
pamannya atau karena dia terlalu bodoh dengan semua hal ini. Sembari tersenyum,
dia menjawab, “Kehidupan yang baik? Bahagia? Bertanggungjawab? Semua itu ada di
sini. Ada di tempat ini. Jadi, bagaimana mungkin aku harus pergi?”
“Tapi,
bukankah ini menyiksamu? Tidak inginkah kamu bebas?”
“Bebas?
Apa arti kebebasan? Bisa kemanapun kita sukai? Memiliki apa yang kita inginkan?
Itukah kebebasan?”
“Setidaknya kamu tidak dikekang dan diancam seperti ini.”
“Setidaknya kamu tidak dikekang dan diancam seperti ini.”
“Inilah
kehidupan. Kita punya pilihan terhadap apapun yang kita lakukan. Mungkin
bagimu, aku harus pergi dari sini. Itulah yang dilihat oleh sisi kemanusiaanmu.
Tetapi, bisakah kamu melihatnya dari sisi hati kecilmu?”
“Hati
kecilku?”
“Ya.
Bisakah kamu meninggalkan satu-satunya keluarga yang kamu punya? Aku tahu, dia
terlalu menyayangiku. Dia hanya terlalu egois untuk mengakuinya. Dia hanya
tidak mampu membuktikan pada dirinya sendiri bahwa aku adalah satu-satunya yang
bersamanya. 2 minggu aku tak bersamanya, tahukah kamu dia sakit? Karena dia
begitu mencintaiku, dia memikirkanku, dan kemarahannya tadi hanyalah kain
penutup rasa sayangnya kepadaku, dia hanya terlalu malu untuk mengakuinya.”
“Maaf, aku bukannya mau ikut campur. Maafkan aku.” Kataku malu. Aku merasa sudah terlalu mencampuri urusannya. Benar katanya. Aku pun akan berpikir dua kali tuk pergi jika aku ada di posisinya. Dia menempatkan diri bukan sebagai anak remaja biasa yang penuh emosi, dia berbeda.
“Maaf, aku bukannya mau ikut campur. Maafkan aku.” Kataku malu. Aku merasa sudah terlalu mencampuri urusannya. Benar katanya. Aku pun akan berpikir dua kali tuk pergi jika aku ada di posisinya. Dia menempatkan diri bukan sebagai anak remaja biasa yang penuh emosi, dia berbeda.
“Tidak
masalah. Aku paham ketakutanmu tadi, itulah yang membuatmu mengatakan ini
padaku. Baiklah, aku harus pergi mengambil buku yang telah dipinjam oleh
pelanggan. Harus segera dikembalikan. Semoga besok kita masih bisa bertemu.”
katanya sambil bergerak bangun dari tempatnya duduk. Aku masih diam, melihatnya
jalan membelakangiku.
“Hei,
tunggu!” teriakku ketika dia sudah hampir keluar dari pintu. “Siapa namamu?”
tanyaku.
Terlambat. Dia sudah terlanjur
keluar dari ruangan ini. Aku menarik nafas kecewa. Namun, sedikit kelegaan
terpancar dari diriku begitu kudapati sebuah buku tepat di depanku. Bukan buku
yang kubaca, buku itu miliknya. Buku itu berjudul Gadis Tak Berambut. Untuk apa
dia membaca buku seperti ini?
Kubuka
sampul buku itu dan kudapati tulisan tangan identitas pemilik buku dan sebuah
foto pas tertempel di atasnya. Aku tersenyum bahagia. Sekarang aku tahu namanya.
Namanya PRIA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar