Dear God, thank You for loving me. Amen!

Dear God, thank You for loving me. Amen!
Perempuan dari Timur Indonesia

Jumat, 14 Maret 2014

NAMANYA PRIA


Saat itu aku yang sedang termenung menatap buku-buku membosankan memalingkan wajah menghadap ke arah samping ruangan yang pengap. Sedikit kelegaan karena bukan aku satu-satunya manusia yang mencintai tempat kumuh ini; setidaknya ada satu orang aneh  yang cukup sinting sama denganku merasa betah disini, kurasa. Ya, tempat ini jauh dari kata layak untuk sesuatu yang berbau 'indah'. Meskipun begitu tempat ini cocok bagi mereka yang menyukai 'sepi'.
Kembali lagi pada dia, dia yang ada di pojok ruangan ini, berada di antara dua rak buku tinggi berwarna coklat kusam. Membolak-balikkan kertas demi kertas halaman buku yang sangat tebal, entah apa yang dia cari. Sekitar 15 menit aku memperhatikannya, hingga akhirnya aku tersadar dia sedang memperhatikanku juga. Kualihkan pandanganku segera mencari objek lain untuk bisa menjadi tempat 'pelarian mataku' , karena tiba-tiba aku merasa sangat tolol karena ketahuan telah memperhatikannya.
Suhu ruangan ini tiba-tiba menjadi sangat dingin, perasaanku-kah? Aku mencoba fokus pada buku yang ada di depanku, berharap aku bisa mendapatkan hal baru untuk kujadikan tambahan kata dalam tugas gilaku nanti. Namun, semua itu buyar ketika dengan tak terduga terdengar suara keras semacam tendangan di arah pintu. Aku yang kaget spontan berdiri dan menatap ke arah dia, satu-satunya orang, manusia, atau apalah itu sebutannya, yang bersama denganku sekarang. Dia memberikan isyarat dengan jari telunjuk yang diletakkan di bibirnya, kemudian dengan tangannya membuatku mengerti bahwa aku harus mundur bersembunyi di balik rak buku di belakangku. Aku mengambil langkah cepat ke arah rak buku itu, berjongkok dan menutup mata, berharap semuanya baik adanya.
"Kamu sedang apa?" tanya suara seorang lelaki. Suaranya terdengar berat. Seorang lelaki dewasa-kah? 
"Membaca." jawab suara seorang laki-laki, kali ini suaranya terdengar lebih rendah, suara jernih. Aku yang masih ketakutan karena kaget dengan suasana tadi, mencoba untuk tetap diam dan tak bergerak di balik rak buku ini.
“Jangan macam-macam, atau aku akan menjebloskanmu ke penjara!” suara berat tadi terdengar lagi.
Apa maksudnya ini? Penjara? Siapa dia?
“Anda sudah makan?” tanya orang itu. Biar kutebak, suara yang rendah itu adalah dia, dia laki-laki berkacamata itu.
“Untuk apa kamu menanyakannya? Mau memberi aku makan? Makanan yang diisi dengan racun? Dengarkan aku! Aku megeluarkanmu dari penjara dengan tujuan agar kamu membalas budi baikku kepada ibumu, dengan membantuku menjaga tempat ini. Dengan mengurusku. Dengan mengikuti semua kata-kataku. Jangan berbuat sesuatu yang mencurigakan, dan jangan berusaha untuk melarikan diri dariku. Terakhir kali aku katakan, jika kamu berbuat macam-macam, aku tak segan-segan tuk mengirimmu kembali ke penjara, ke tempat yang pantas untukmu jika tak ada aku!”
“Ya.”
Yang kudengar sekarang ada suara langkah kaki menjauh dari arahku, menuju ke pintu, dan ... braaaakk! Suara pintu yang ditutup baru saja dengan keras. Aku yang masih gemetar, semakin tak mengerti dengan semua yang ku dengar. Balas jasa? Penjara?
Sekitar 5 menit aku berjongkok hingga aku merasa kakiku mulai kesemutan. Aku mencoba bangun berdiri perlahan, menyeimbangkan badanku. Kutarik nafasku dalam-dalam dan berusaha menganggap semuanya normal, sampai aku menyadari bahwa laki-laki muda itu sudah berdiri di depanku sekarang.
“Takut?” katanya.
Aku yang kaget menatapnya, bingung mau menjawab apa.
“Butuh air? Minumlah.” katanya lagi. Dia menyodorkan sebuah botol air mineral, masih terisi penuh. Aku yang masih bingung dengan semua yang terjadi begitu cepat hanya mampu menatapnya diam.
“Minumlah, tak ada racun di dalamnya.” katanya sekali lagi. Aku yang tersadar dengan kata-katanya barusan sedikit malu, dia berpikir aku takut dia akan meracuniku.
“Ya, terimakasih. Tidak, bukan maksudku begitu.” jawabku sambil mengambil air tersebut dari tangannya. Aku meminumnya dengan cepat, sangat cepat, mungkin tak sampai semenit. Kuturunkan botolku, dan .. dimana dia?
Aku keluar dari tempatku bersembunyi dan mendapatinya duduk tepat di depan kursiku.
“Maaf tlah membuatmu takut.”
“Oh, ya, tak apa. Tapi..”
“Dia pamanku, kakak dari Ibuku. Ibuku tlah meninggal. Keracunan.” katanya singkat.
“Tempat ini...”
“Ya. Perpustakaan kumuh ini miliknya. Beliau guru, dulunya. Sejak ibuku sakit, dia memutuskan tuk menjaga ibuku. Dan, dia membuka tempat kecil ini agar buku-bukunya tak terbuang percuma.”
“Aku tak mengerti.”
“Ibuku meninggal karena makan makanan yang kuberikan. Di dalamnya terdapat racun yang aku sendiri tak tau dari mana datangnya. Yang aku tau aku dimasukkan ke penjara karena diduga membunuh ibuku. Belum setahun aku masuk aku dibebaskan oleh pamanku.”
“Mengapa ia membebaskanmu?”
“Entahlah, yang pasti ia begitu mencintai adiknya, ibuku. Dan akhirnya, aku disini, setiap hari mengurusi tempat ini.”
“Tapi aku tak pernah melihatmu sejak 2 minggu ini, ya..aku memang baru ke sini 2 minggu belakangan ini.”
“Dua minggu itu aku ke kampung, mengurus satu-satunya harta ibu yang tersisa tanpa sepengetahuan paman: pertanian ayah. Dan aku tak memberitahunya.”
“Pergi tanpa ijin?”
“Ya. Bagaimana mungkin aku meminta ijin sementara aku tahu aku tak mungkin diijinkan? Tapi toh dia tahu aku disini sekarang, dan dia tahu bahwa aku tak mungkin lari darinya.”
Ruangan menjadi sangat sunyi. Mungkinkah karena suasana pembicaraan kami yang sedikit pribadi? Entahlah, yang pasti suhu tempat ini tak sedingin tadi.
“Maaf tlah membuatmu takut tadi. Kuharap semua yang terjadi tadi tidak mengurungkan niatmu untuk datang ke sini lagi besok.” katanya sambil tersenyum.
“Ya, tidak apa-apa. Aku memang sedikit kaget, tapi sudahlah. Dan bolehkan aku bertanya padamu?” jawabku sembari bertanya kepadanya.
“Silahkan.”
“Sesulit itukah hidupmu? Dituduh meracuni ibumu, dimasukkan ke penjara, dibebaskan namun hidup dengan pamanmu yang seperti ini, apakah tak menderita? Tak ada niatkah dalam dirimu untuk kabur? Pergi mencari hidup yang lebih baik dan bahagia? Hidup yang lebih bertanggungjawb? Maaf, saya hanya...” aku terdiam. Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku, entah karena kasihan padanya dan marah pada pamannya atau karena dia terlalu bodoh dengan semua hal ini. Sembari tersenyum, dia menjawab, “Kehidupan yang baik? Bahagia? Bertanggungjawab? Semua itu ada di sini. Ada di tempat ini. Jadi, bagaimana mungkin aku harus pergi?”
“Tapi, bukankah ini menyiksamu? Tidak inginkah kamu bebas?”
“Bebas? Apa arti kebebasan? Bisa kemanapun kita sukai? Memiliki apa yang kita inginkan? Itukah kebebasan?”
“Setidaknya kamu tidak dikekang dan diancam seperti ini.”
“Inilah kehidupan. Kita punya pilihan terhadap apapun yang kita lakukan. Mungkin bagimu, aku harus pergi dari sini. Itulah yang dilihat oleh sisi kemanusiaanmu. Tetapi, bisakah kamu melihatnya dari sisi hati kecilmu?”
“Hati kecilku?”
“Ya. Bisakah kamu meninggalkan satu-satunya keluarga yang kamu punya? Aku tahu, dia terlalu menyayangiku. Dia hanya terlalu egois untuk mengakuinya. Dia hanya tidak mampu membuktikan pada dirinya sendiri bahwa aku adalah satu-satunya yang bersamanya. 2 minggu aku tak bersamanya, tahukah kamu dia sakit? Karena dia begitu mencintaiku, dia memikirkanku, dan kemarahannya tadi hanyalah kain penutup rasa sayangnya kepadaku, dia hanya terlalu malu untuk mengakuinya.”
“Maaf, aku bukannya mau ikut campur. Maafkan aku.” Kataku malu. Aku merasa sudah terlalu mencampuri urusannya. Benar katanya. Aku pun akan berpikir dua kali tuk pergi jika aku ada di posisinya. Dia menempatkan diri bukan sebagai anak remaja biasa yang penuh emosi, dia berbeda.
“Tidak masalah. Aku paham ketakutanmu tadi, itulah yang membuatmu mengatakan ini padaku. Baiklah, aku harus pergi mengambil buku yang telah dipinjam oleh pelanggan. Harus segera dikembalikan. Semoga besok kita masih bisa bertemu.” katanya sambil bergerak bangun dari tempatnya duduk. Aku masih diam, melihatnya jalan membelakangiku.
“Hei, tunggu!” teriakku ketika dia sudah hampir keluar dari pintu. “Siapa namamu?” tanyaku.
Terlambat. Dia sudah terlanjur keluar dari ruangan ini. Aku menarik nafas kecewa. Namun, sedikit kelegaan terpancar dari diriku begitu kudapati sebuah buku tepat di depanku. Bukan buku yang kubaca, buku itu miliknya. Buku itu berjudul Gadis Tak Berambut. Untuk apa dia membaca buku seperti ini?
Kubuka sampul buku itu dan kudapati tulisan tangan identitas pemilik buku dan sebuah foto pas tertempel di atasnya. Aku tersenyum bahagia. Sekarang aku tahu namanya. Namanya PRIA.


Tidak ada komentar: